Minggu, 25 Oktober 2020

DIA SATU PAKET, SEBUAH KISAH INSPIRATIF

DIA SATU PAKET

Matahari mulai bergulir ke arah barat. Teriknya pun mulai memudar. Angin bertiup sepoi-sepoi memberi pertanda waktu telah sore.

Adalah Fauzi, seorang guru tua berusia lima puluh tujuh tahun. Sosok ini bertubuh pendek dengan rambut lurus yang sudah mulai dua warna. Fauzi sudah tiga belas tahun mengajar di SMA  Bhakti Persada. Waktu yang cukup lama sebagai seorang abdi negara yang bertugas mencerdaskan anak bangsa.

Waktu tiga belas tahun mengabdi di sekolah yang sama membuat Fauzi merasa sekolah adalah rumah ke duanya. Teman sejawat dan anak didiknya menerima dia apa adanya. Dilaluinya masa pengabdian dengan riang. Setiap kali menemui kesulitan, teman sejawatnya selalu siap membantunya.

"Pak Fauzi," suara itu memecahkan lamunannya siang itu. 
"Ya, ada apa mbak Yati?"jawab Fauzi dengan sopan.
"Bapak diminta menemui Bapak Kepala di ruangannya," jawab Yati, staf Tata Usaha  di sekolahnya.
"Oh, ya. Makasih, mbak Yati. Saya akan segera menghadap beliau."

Sekian pertanyaan hinggap di kepala Fauzi. Tidak biasanya Kepala Sekolah memanggil anak buahnya ke ruangan beliau. Dengan hati penuh pertanyaan, Fauzi pun menghadap Kepala Sekolahnya.
"Assalamu'alaikum,"  suara lirih Fauzi sambil mengetuk pintu ruangan atasannya. 
"Wa'alaikum salam, masuk." jawab Kepala Sekolah.
" Bapak memanggil saya?" sapa Fauzi dengan lembut.
"Oh, iya pak. Silakan duduk." dengan sopan sang atasan memperlakukan anak buahnya. 

Sejenak atasan Fauzi menghela napas panjang. Ekspresi tegang bisa Fauzi lihat dengan jelas. Ada rasa sesak di dada atasannya ini. Ada beban berat yang mengganjal hati beliau.

Dengan suara gemetar, Kepala Sekolah menyampaikan kabar yang kurang baik sambil menyerahkan secarik kertas, seperti surat dinas. Fauzi berpikir itu surat perintah untuk mengikuti pelatihan atau semacamnya. Diterimanya surat tersebut dengan perasaan datar. 
           Samar terdengar suara atasannya,"Pak Fauzi harus berpindah tugas. Maafkan saya. Selaku atasan saya sudah berusaha mengajukan keberatan. Sayangnya, permohonan saya ditolak."

Mendengar perkataan atasannya, Fauzi sontak kaget. Ekspresi sedih, kecewa, marah langsung menyelimuti wajahnya. Lemas seluruh tubuhnya. Keringat dingin bahkan mengaliri di pelipis kanan dan kirinya. Dengan gontai dia keluar dari ruangan atasannya.

Jam kantor pun usai. Fauzi dan teman sejawatnya segera berkemas pulang. Sepanjang perjalanan otak Fauzi dipenuhi dengan bayangan surat pindah tugas yang telah diterimanya. Sumpah serapah bergumul di batinnya. Sekian umpatan memenuhi pikirannya. Mengapa harus aku yang pindah tugas? Mengapa aku yang sudah 57 tahun ini yang dimutasi? Bagaimana aku bisa beradaptasi di tempat tugasnya yang baru? Seperti apa pertemanan dan persaudaraan di tempat yang baru?

Ban motor Fauzi terus berputar kencang mengiringi gejolak hati pemiliknya. Gerakan motor kadang mulus kadang gontai selaras dengan suasana hati pemiliknya.

Tak terasa pintu rumah sudah di hadapan Fauzi. Dengan lemas ditentengnya tas kantor kesayangannya. Tepat di depan pintu Rukiyah, sang istri menyambut dengan senyum manisnya. Tapi senyum itu tidak bertahan lama ketika menyadari wajah suaminya tidak seperti biasa.
"Pak, ada apa dengang Bapak. Bapak sakit? Kok lemes gitu?"Rukiyah menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan. Wajah bingung dan cemas tampak jelas. 

Masih menenteng tasnya, Fauzi bergegas masuk rumah tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Ini membuat Rukiyah semakin cemas. Setelah berganti pakaian dan makan secukupnya dia memanggil istrinya,"Bu,....ibu...!"
"Ya, pak," sahur Rukayah sambil bergegas menemui suaminya.
" Bu, maaf ya tadi bapak tidak menjawab pertanyaan ibu. Ibu ingat tidak berapa lama bapak mengabdi di sekolah yang sekarang ini?"kata Fauzi membuka keheningan ruang keluarga. 
"Iya, pak. Tidak apa-apa. Tapi ibu bingung, bapak kok tidak seperti biasanya. Soal berapa lama bapak ngajarnya seingat ibu sebelum kita menikah bapak sudah ngajar di situ. Memangnya kenapa?"suara Rukiyah terdengar lembut di telinga. 
"Bu, setelah sekian lama dan bapak sudah mendekati hampir pensiun, ternyata hari ini bapak menerima surat pindah tugas. Pindah ke SMA NUSA PERSADA yang menurut cerita itu sekolah yang jauh lebih bagus dari pada sekolah bapak yang lama," jelas Fauzi pada istrinya. Dialog panjangpun terjadi hingga saatnya pasangan itu berbaring di peraduan mereka.

Pagipun datang. Matahari menyambut pagi dengan sinarnya yang terang benderang. Kesibukan keluarga Fauzi berjalan normal seperti biasanya.

Agenda Fuazi hari ini adalah tunjuk muka ke sekolah barunya. Berbagai perasaan masih tetap bergejolak di hatinya. Setelah perjalanan setengah jam, sampailah dia di SMA NUSA PERSADA. Berbekal secarik kertas surat mutasi dia mengetuk pintu resepsionis dan menyampaikan maksud kedatangannya. 

Dengan ekspresi datar petugas segara mengarahkan Fauzi memasuki ruang kepala sekolah. Dalam hatinya, kesan pertama biasanya menggoda tapi petugas ini tidak ada manis-manisnya. Di ruang kepala sekolah, Fauzi duduk tanpa merasakan kenyamanan. Setelah berbincang cukup lama akhirnya Fauzi undur diri. Besuk adalah hari pertamanya. 
        Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tak terasa sudah satu semester Fauzi pindah di tempat tugasnya yang baru. 
       Hari ini tepatnya hari Sabtu, seperti biasanya Fauzi pulang tanpa membawa keceriaan dalam hati dan wajahnya. Dia mencoba menikmati pemandangan di kanan kiri jalan yang di laluinya. Tapi semua terasa hambar. Seperti makanan tanpa bumbu yang pas. 
Tiba-tiba dia terhenyak oleh suara yang sepertinya sudah tidak asing baginya. Ya......itu suara Mazmo temen satu sekolahannya dulu. Mazmo adalah sosok anak muda yang santun, halus budi bahasanya. Mazmo lah yang selalu membantunya. Mazmo adalah teman akrab yang selalu ada buat dia ketika menemui kesulitan. 
          Obrolan demi obrolanpun terjadi. Sampai pada satu titik, Mazmo bertanya pada Fauzi," Gimana, Pak? Sudah setahun lho Bapak mutasi. Pasti sudah betah, ya Pak."
          Mendengar pertanyaan teman lamanya ini, Fauzi tertunduk seperti menahan beban. Setelah menghela nafas, Fauzipun bercerita panjang lebar. Dia merasa tidak diterima di tempat barunya. Lingkungannya menuntut dia untuk segera mengejar ketinggalannya di berbagai hal. Mulai dari pola kerja sampai penguasaan IT. Ibarat orang lomba, Fauzi dituntut untuk bisa berlari cepat. Hal yang sudah tidak mungkin dilakukannya di usianya yang sudah memasuki limapuluh tujuh tahun.
         "Itulah pak Mazmo suka duka Bapak di tempat yang baru. Bahkan Bapak sering jadi bahan olok-olokan teman- teman sekantor. Sebenarnya Bapak tidak terima perlakuan mereka. Tapi Bapak bisa apa?" lirih suara Fauzi mengungkapkan suara hatinya.
        Mazmo yang sedari tadi menjadi pendengar yang baik merasakan luka di hati sahabat yang sudah dia anggap seperti bapaknya. Dalam hati dia tidak terima Fauzi sering dibully di tempat tugasnya yang baru. Dengan suara lirih Mazmo berusaha menenangkan dan menguatkan sahabatnya,"Saya bisa merasakan apa yang Bapak rasakan. Ingat kata-kata yang dulu pernah Bapak sampaikan pada saya. Bahwa Allah tidak akan menguji hambaNya melebihi batas kekuatannya. Bapak pasti bisa menghadapi itu semua."
           Setelah sekian lama bicara panjang lebar, akhirnya kedua sahabat itu pun berpisah untuk menuju ke rumah masing-masing.
          Mazmo. Ya.....anak muda ini masih merasa terusik dengan kondisi sahabatnya. Tiba-tiba wajah Mazmo berbinar seolah menemukan sesuatu yang menyenangkan. "Ah....ya kan di sekolah Pak Fauzi ada Niken sahabatku. Aku akan bicara dengannya agar selalu membantu dan mendampingi Pak Fauzi. Ya....dia pasti bisa membantu," gumam Mazmo.
        Singkat cerita pertemuan Niken dan Mazmo pun sudah di tentukan. 
          "Mo......,"teriak Niken sambil melambaikan tangannya.
          "Hai.....niken," sambut Mazmo.
           "Lama kita tidak ketemu,ya Mo. Sejak selesai kuliah baru sekarang kita bisa ngobrol. Eh, Mo.... Aku mau cerita hal seru," suara Nekin terdengar semangat.                 Mazmo belum sempat bercerita soal Fauzi. Niken hampir tidak memberikan kesempatan padanya untuk meminta tolong pada Niken. 
          "Mo, kamu tahu tidak? Di kantorku kan ada pegawai dan guru baru. Ada enam orang. Yang lima orang sih oke profilnya. Tapi yang satu......,"Niken menghentikan ceritanya sambil mencibirkan bibirnya. 
         "Mo, guru baru di sekolahku ini yang satu sudah tua lho. Aku nggak yakin dia bisa beradaptasi di tempatku. Orangnya low profile. Apa-apa tidak bisa. Cuma program excel sederhana saja tidak bisa.  Belum lagi orangnya sakit-sakitan. Belum setahun di sekolahku sudah sakit tiga kali.  Dia juga sering dijadikan bahan olok-olok di ruang guru. Itu semua karena memang dia low profile," Niken terus saja nyerocos dan tampak bersemangat sekali menceritakan teman bari yang tidak disukai di sekolahnya itu. 
          "Niken,.....tunggu. Dari tadi kamu bercerita dengan semangat. Apakah kamu tidak merasa bersalah menceritakan temanmu sendiri? Bahkan kamu ikut larut dalam olok-olokan itu? Menghina temanmu sendiri yang usianya jauh lebih tua dibanding kamu?" desak Mazmo dengan penuh rasa heran.
          "Apa? Kasihan? Di tempat kerjaku semua harus mampu mandiri tidak pandang usia. Semua harus mau belajar dan semua harus dikerjakan sesuai perintah dan tepat waktu,"kilah Niken yang semakin membuat Mazmo naik pitam.
          "Tunggu, Niken. Kalau boleh tahu, siapa teman yang kamu maksud itu?" tanya Mazmo.
           "Oh, namanya pak Fauzi. Menurutku dia tidak cocok bekerja di tempatku. Orangnya kudet," jelas Niken. 
Ketika nama Fauzi disebut, Mazmo kontan mengepalkan tangannya. Emosinya tidak bisa dibendung lagi. Dengan penuh amarah Mazmo menunjukkan jarinya ke arah Niken sambil berkata,"Nik, aku tidak menyangka ternyata apa yang dikatakan pak Fauzi semuanya benar. Kamu dan teman-temanmu sudah tidak punya hati. Angkuh dan sombong kalian."
         "Lho...emangnya siapa kamu pak Fauzi itu? Kok sampai segitunya kamu membela dia?"tangkis Niken.
           "Kamu mau tahu? Pak Fauzi adalah temanku. Dulu dia teman sekantorku. Di tempatku tidak ada istilah low profile. Semuanya saling asah, asih, dan asuh. Yang pandai IT membimbing yang kurang pandai. Termasuk Pak Fauzi. Meski seperti itu kemampuan beliau,
kami sangat menghormati beliau. Kami bantu ketika beliau ada masalah. Aku tidak menyangka kamu sudah berubah," kata-kata tajam Fauzi sungguh menusuk relung hati Niken. 
    Sejenak Niken diam. Dilihatnya wajah Mazmo yang masih terlilit amarah. "Mo, maaf aku tidak tahu kalau pak Fauzi itu temanmu. Aku benar-benar minta maaf," pinta Niken.
           Akhirnya Mazmo berkata," Kalau pun dia bukan temanku, apakah hal yang patut jika kamu akan memperlakukan dia seperti itu? Ingat, Nik. Ketika kamu mempunyai teman, terima dia apa adanya. Satu paket dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jangan kucilkan dia atau kalian olok-olok dia hanya karena teman tidak sesuai standar kalian. Ingat itu!"
         Mazmo pun segera meninggalkan Niken begitu saja. Amarah masih hinggap di dadanya. 
          Sejak saat itu keakraban Mazmo dan Fauzi lebih erat lagi. Mazmo selalu membantu Fauzi meski sudah berbeda tempat tugas. 



         




9 komentar:

  1. Koda atau amanat: jangan suka membulu teman. Jangan sombong dan harus low profile. Tidak boleh menghina sesama makhluk ciptaan Tuhan.

    BalasHapus
  2. Waduh bagus banget bu, ceritanya, kok hampir sama dengan kisah temanku. Sukse bu Yuli

    BalasHapus
  3. Misalnya dilanjutkan sedikit jadi happy ending buat pak Fauzi di sekolah yg baru malah lebih oke👍👍🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke bunda. Nanti pas mo di bukukan akan sy kasih happy endingnya

      Hapus
    2. Mksh bunda..bsk pas dibukukan kita bikin hapy ending

      Hapus

terima kasih atas kunjungan anda